Rabu, 19 Maret 2014

BELAJAR PEMBELAJARAN ( Hirarki Belajar Teori gagne, Belajar bermakna David P.ausubel,Implikasi Intruktivisme )


BAB I
PENDAHULUAN
1.                  Latar Belakang
Pencapaian tujuan pendidikan di setiap lembaga pendidikan, sangat ditentukan oleh pengelolaan proses belajar. Oleh karena itu kegiatan belajar mengajar perlu dikelola sebaik mungkin supaya tercapai tujuan pendidikan. Proses pembelajaran matematika di sekolah dipengaruhi banyak fakto antara lain: siswa, metode, guru, sarana dan prasarana serta penilaian. Guru dinilai  paling bertanggung jawab dalam kegiatan  proses belajar mengajar. Dalam pelaksanaan belajar mengajar guru bertugas memotivasi, membimbing dan member fasilitas belajar kepada siswanya dalam pencapayan tujuan pengajaran yang direncanakan. Untuk mencapai tujuan tersebut tentunya guru mempunyai strategi tertentu agar pelaksanaan belajar dengan baik dan dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Bahkan banyak teori dari para ahli yang diterapkan guru dalam proses pembelajaran.
Tantangan dunia pendidikan di masa yang akan datang adalah mewujudkan proses demokratisasi belajar. Suatu proses pendemokrasian yang mencerminkan bahwa belajar adalah atas prakarsa anak. Salah satu prasyarat terwujudnya masyarakat belajar yang demokratis adalah adanya pengemasan pembelajaran yang beragam.
            Dewasa ini telah banyak usaha yang dilakukan untuk memudahkan proses internal yang berlangsung ketika seseorang belajar. Semuanya ditujukan agar proses belajar menjadi lebih efektif dan efisien.
Para pendidik dan para perancang pendidikan serta pengembang program- program pembelajaran perlu menyadari akan pentingnya pemahaman terhadap hakekat belajar pembelajaran. Berbagai teori belajar dan pembelajaran penting untuk dimengerti dan diterapkan sesuai dengan kondisi dan konteks pembelajaran yang dihadapi.



BAB II
PEMBAHASAN
1. Hirarki Belajar Teori Gagne
Menurut kamus ilmiah populer (2006:179) hirarki berarti berurutan-urutan, peringkat, tingkat. Hirarki belajar merupakan struktur belajar yang terdiri dari tingkatan-tingkatan belajar.
            Gagne memberikan pemecahan dan pengurutan materi pembelajaran dengan selalu menanyakan pertanyaan ini: “Pengetahuan apa yang lebih dahulu harus dikuasai siswa agar ia berhasil mempelajari suatu pengetahuan tertentu?”. Setelah mendapat jawabannya, ia harus bertanya lagi seperti pertanyaan yang di atas tadi untuk mendapatkan prasyarat yang harus dikuasai dan dipelajari siswa sebelum ia mempelajari pengetahuan tersebut. Begitu seterusnya sampai didapatkan urut-urutan pengetahuan dan yang paling sederhana sampai yang paling kompleks.
            Dengan cara seperti itu akan didapatkan hirarki belajar. Resnick dan Ford (google,co.id) mengungkapkan, “A hierarchy is generated by considering the target task and asking: “What would (this child) have to know and how to do in order to perform thisk task...?” . Gagne menekankan kajiannya pada aspek penataan urutan dengan memunculkan gagasan mengenai prasyarat belajar yang dituangkan dalam suatu struktur yang disebutnya hirarki belajar. Keterkaitan diantara bagian-bagian yang dituangkan dalam bentuk prasyarat belajar berarti bahwa pengetahuan tertentu harus dikuasai lebih dulu sebelum pengetahuan lainnya dapat dipelajari.
Hirarki belajar menurut Gagne harus disusun dari atas ke bawah atau top down. Dimulai dengan menempatkan kemampuan, pengetahuan, ataupun keterampilan yang menjadi salah satu tujuan dalam proses pembelajaran di puncak dari hirarki belajar diikuti kemampuan, ketrampilan, atau pengetahuan prasyarat yang harus dikuasai lebih dahulu agar berhasil mempelajani ketrampilan atau pengetahuan yang ada di atasnya.
Hirarki belajar dari Gagne memungkinkan juga prasyarat yang berbeda untuk kemampuan yang beda pula . Sebagai contoh, pemecahan masalah membutuhkan aturan, prinsip dan konsep- konsep terdefinisi sebagai prasyaratnya yang membtuhkan konsep konkret sebagai prasyarat berikutnya yang masih membutuhkan kemampuan membedakan (discriminations) sebagai prasyarat berikutnya lagi.
1.1              Contoh kesulitan belajar matematika yang berkaitan dengan hirarki belajar.
Pada suatu hari, seorang teman guru matematika yang sudah mengajar beberapa tahun di SMP mengeluh tentang sebagian besar siswa yang tetap tidak bisa atau  belum mampuh untuk memfaktorkan bentuk-bentuk aljabar seperti: x2-2x-35 menjadi (x-7)(x+5): x2-6x +8 menjadi (x-4)(x-2). Padahal, menurut guru tersebut, ia sudah berulang-ulang menjelaskan dengan berbagai cara; namun tetap saja siswanya tidak dapat memfaktorkan beberapa soal baru  yang angkanya berbeda dari yang dicontohkannya. Yang menjadi pertanyaan mengapa hal seperti itu dapat terjadi? Jika hal ini  terjadi kita dapat beranjak dari pertanyaan awal yang dapat diajukan sebagaiman disarankan Gagne adalah: pengetahuan yang lebih dahulu harus dikuasai siswa  agar ia berhasil memfaktorkan? Jawabannya: di saat memfaktorkan bentuk seperti x2-2x-35dimana -2 disebut koeffisien x dan -35 disebut konstanta, sebagaiman para siswa harus mencari dua bilangan yang dicari tersebut adalah -7  dan +5, karena -7 + (+5) = -2 dan (-7) × (5) =-35. Ketika ditanyakan kepada guru tersebut tentang kemampuan siswanya untuk menjumlahkan dan mengalikan dua bilangan bulat, sang guru menyatakan bahwa para siswanya sering mengalami kesulitan dengan dua tugas tersebut. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah kalau mereka tidak dapat menentukan dua bilangan bulat yang jumlah dan hasil kalinya sudah tertentu, bagaimana mungkin mereka akan mampu memfaktorkan bentuk-bentuk aljabar?.  Sehingga dapat disimpulkan para siswa tersebut harus di bimbing kembali dalam belajar penjumlahan dan perkalin hingga lancar.
1.2              Contoh hirarki belajar dari satu topik matematika.
Dari cerita di atas, dapatlah disusun suatu hirarki tentang memfaktorkan bentuk aljabar seperti di tunjukan pada gambar 1 di bawah ini. Bapak dan ibu guru dapat saja menyempurnakan hirarki belajar ini berdasar pengalman dilapangan. Dari gambar 1 terlihat jelas bahwa pengetahuan atau keterampilan memfaktorkan yang telah ditetapkan menjadi salah satu tujuan pembelajaran khusus harus diletakkan dipuncak dari hirarki belajar tersebut, diikuti dibawahnya, ketrampilan atau pengetahuan prasyarat (prerquisite) yang harus dikuasi lebih dahulu agar para siswa berhasil mempelajari  ketrampilan atau pengetahuan di atasnya itu. Begitu seterusnya sehingga didapatkan hirarki belajar tersebut.
Hal paling penting yang perlu mendapat perhatian serius para guru matematika adalah  bersifat hirarkisnya mata pelajaran matematika. Tidaklah
mungkin seorang siswa mempelajari suatu materi tertentu jika mereka tidak memiliki pengetahuan prasyarat yang  cukup. Hal tersebut berlaku dari jenjang Sekolah Dasar sampai dengan tingkat  perguruan tinggi. Seorang siswa SD yang bari belajar menjumlahkan dua bilangan antara  1 sampai 5 harus memiliki pengetahuan prasyarat awal seperti dapat menulis dan membilang angka 1 sampai 5 secara berurutan. Di samping itu, ia harus menentukan banyaknya suatu kelompok benda dengan tepat.
Gambar 1
                                  Contoh Hirarki Belajar






Text Box: Memfaktorkan Bentuk x2 + Cx + D


 



Text Box: Menentukan Dua Jumlah Dan Hasil Kalinya TertentuText Box: Menjabarkan Bentuk  Bilangan Bulat ( X + A ) (X + B )                                                                  
                                                              


 
Text Box: Menentukan faktor  - faktor suatu bilangan bulat 

                                                                                  







Text Box: Menentukan jumlah dan bilangan bulat


 



                                                            
      
         Menurut  seorang guru SD, sering terjadi seorang anak, ketika membilang dengan benda kongkret,  ia mengucapkan “empat” padahal jarinya  menunjukan benda kelima. Di tingkat perguruan tinggi, seorang mahasiswa tidak akan mungkin mempelajari integral rangkap tiga jiga ia tidak memiliki bekal yang cukup tentang integral biasa.  Tentunya hal yang sama akan terjadi di bangku SMP. Disamping itu, matematika sudah dikenal sebagai mata pelajaran yang sulit. Pendapat seperti ini harus dikikis sedikit demi sedikit oleh setiap guru matematika. Karenanya, perlu bagi penulis untuk mengingatkan para guru matematika bahwa disat menemui para siswa yang mengalami kesulitan atau melakukan kesalahan, cobalah untuk berpikir jerni dalam menetapkan penyebab kesulitan maupun kesalahan siswa tersebut dan dapat menggunakan teori tentang hirarki belajar ini sebagai salah satu alat pentingnya. Sekali lagi, seorang siswa tidak akan dapat mempelajari atau menyelesaikan tugas tertentu jika mereka tidak memiliki pengetahuan prasyaratnya. Karena itu, untuk memudahkan para siswa selama proses pembelajaran di kelas, proses tersebut harus dimulai dengan member kemudahan bagi para siswa dengan mengecek, mengingatkan kembali, dan memperbaiki pengetahuan-pengetahuan prasyaratnya. Sebagai penutup, penulis ingin menyatakan bahwa tugas guru matematika memanglah berat, namun sangat mulia dan akan sangat menentukan kemajuan bangsa ini di masa  yang akan datang.
1 .3    Gagne dikenal sebagai pencetus istilah fakta, skill, konsep, dan prinsip.
          Gagne menggunakan matematika sebagai sarana untuk menyajikan dan mengaplikasi teori-teorinya tentang belajar. Menurut Gagne (dalam Ismail, 1998), objek belajar matematika terdiri dari objek langsung dan objek tak langsung. Objek langsung adalah transfer belajar, kemampuan menyelidiki, kemampuan memecahkan masalah, disiplin pribadi dan apresiasi pada struktur matematika. Sedangkan objek langsung belajar matematika adalah fakta, keterampilan, konsep dan prinsip.
1. Fakta (fact) adalah perjanjian-perjanjian dalam matematika seperti simbol-simbol matematika, kaitan simbol “3” dengan kata “tiga” merupakan contoh fakta.
Contoh lainnya fakta : “+” adalah simbol dari operasi penjumlahan dan sinus adalah nama suatu fungsi khusus dalam trigonometri.
2. Keterampilan (skills) adalah kemampuan memberikan jawaban yang benar dan cepat. Misalnya pembagian cara singkat, penjumlahan pecahan dan perkalian pecahan.
3. Konsep (concept) adalah ide abstrak yang memungkinkan kita mengelompokkan objek ke dalam contoh dan bukan contoh. Himpunan, segitiga, kubus, dan jari-jari adalah merupakan konsep dalam matematika.
4. Prinsip (principle) merupakan objek yang paling kompleks. Prinsip adalah sederetan konsep beserta dengan hubungan diantara konsep-konsep tersebut.
Contoh prinsip adalah dua segitiga sama dan sebangun bila dua sisi yang seletak dan sudut apitnya kongruen.
2.    Belajar Bermakna Dari David P.Ausubel
David Ausubel adalah seorang ahli psikologi pendidikan yang terkenal dengan teori belajar bermakna (meaningfull). Ausubel (Tim MKPBM, 2001 : 35) membedakan antara belajar menemukan dengan belajar menerima. Pada belajar menerima siswa hanya menerima, jadi tinggal menghafalkannya, tetapi pada belajar menemukan konsep ditemukan oleh siswa, jadi tidak menerima pelajaran begitu saja.
Menurut Ausubel (Dahar, 1996 : 112) pembelajaran bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang.
2.1              Belajar Menghafal (Rote Learning)
Bila struktur kognitif  yang cocok dengan fenomena baru itu belum ada maka informasi baru tersebut harus dipelajari secara menghafal. Belajar menghafal ini perlu bila seseoarang memperoleh informasi baru dalam dunia pengetahuan yang sama sekali tidak berhubungan dengan apa yang ia ketahiu sebelumnya.
Jika seorang anak berkeinginan untuk mengingat sesuatu tanpa mengaitkan hal yang satu dengan hal yang lain maka baik proses maupun hasil pembelajarannya dapat dinyatakan sebagai hafalan dan tidak akan bermakna sama sekali baginya.
Contoh lain yang dapat dikemukakan tentang belajar hafalan ini adalah beberapa siswa SD kelas 1 atau 2 yang dapat mengucapkan: “Ini Budi. Ini Ibu Budi,” namun ia tidak dapat menentukan sama sekali mana yang “i” dan mana yang “di”. Contoh lain dari belajar menghafal adalah siswa yang dapat mengingat dan menyatakan rumus luas persegipanjang adalah l = p × l, namun ia tidak bisa menentukan luas suatu persegi panjang karena ia tidak tahu arti lambang l, p, dan l. 
Setelah itu, si anak harus mampu mengaitkan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang sudah dipunyainya, sehingga proses pembelajarannya menjadi bermakna..

” Jelaslah bahwa pengetahuan yang sudah dimiliki siswa akan sangat menentukan berhasil tidaknya suatu proses pembelajaran. Untuk menjelaskan tentang belajar bermakna ini, perhatikan tiga bilangan berikut. 
                 Menurut Anda, dari tiga bilangan berikut: 
a.       50, 471, 198
b.      54, 918, 071
c.       17, 081, 945

manakah yang lebih mudah dipelajari atau diingat para siswa? Seorang siswa dapat saja mengingat ketiga bilangan tersebut yaitu dengan mengucapkan bilangan tersebut berulang-ulang beberapa kali. Namun sebagai warga bangsa Indonesia tentunya Bapak dan Ibu Guru akan meyakini bahwa bilangan (c) yaitu 17.081.945 merupakan bilangan yang paling mudah dipelajari jika bilangan tersebut dikaitkan dengan tanggal 17 – 08 – 1945 yang merupakan hari kemerdekaan Republik Indonesia.

Proses pembelajaran bilangan 17.081.945 (tujuh belas juta delapan puluh satu ribu sembilan ratus empat puluh lima) akan bermakna bagi siswa hanya jika si siswa, dengan bantuan gurunya, dapat mengaitkannya dengan tanggal keramat 17 Agustus 1945 yang sudah ada di dalam kerangka kognitifnya. 
Bilangan (b) yaitu 54.918.071 akan lebih mudah dipelajari siswa daripada bilangan (a) yaitu 50.471.198 karena bilangan (b) didapat dari tanggal 17–08–1945 dalam urutan terbalik yaitu 5491–80–71.

 Bilangan (a) merupakan bilangan yang paling sulit untuk dipelajari karena aturan atau polanya belum diketahui. Contoh di atas menunjukkan bahwa suatu proses pembelajaran akan lebih mudah dipelajari dan dipahami siswa jika para guru mampu dalam memberi kemudahan bagi siswanya sedemikian sehingga para siswa dapat mengaitkan pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya. Itulah inti dari belajar bermakna (meaningful learning) yang telah digagas David P Ausubel.
2.2        Belajar Bermakna (Meaningfull Learning)
Belajar dikatakan bermakna bila informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki peserta didik itu sehingga peserta didik itu dapat mengaitkan informasi barunya dengan struktur kognifitif yang dimilikinya. Sehingga peserta didik menjadi kuat ingatannya dan transfe belajarnya mudah dicapai. Struktur kognitif dapat berupa fakta-fakta, konsep-konsep maupun generalisasi yang telah diperoleh atau bahkan dipahami sebelumnya oleh siswa.
Contoh belajar bermakna di saat membahas himpunan kosong misalnya, seorang guru dapat saja melalui proses pembelajaran dengan mendiskusikan “ Gelas kosong “ atau “ buku kosong “. Karena “ buku kosong “sudah diketahui para siswamerupakan buku yang tidak ada tulisasnya, gelas kosong adalah gelas yang tidak ada isinya (airnya), ddan kantong kosong berarti kantong yang tidak ada isinya (uangya) maka para siswa diharapkan akan lebih mudah untuk memahami bahwa “ Himpunan kosong “ adalah himpunan yang tidak memiliki / mempunyai.
2.3              Pembelajaran Matematika SMP yang akan menjadi pembelajaran yang
bermakna bagi para siswa.
Ø  Pilih suatu bacaan dari buku pelajaran.
Ø  Tentukan konsep-konsep yang relevan.
Ø  Urutkan konsep-konsep dari yang paling inklusif ke yang paling tidak inklusif atau contoh-contoh.
Ø  Susun konsep-konsep tersebut di atas kertas mulai dari konsep yang paling inklusif di puncak konsep ke konsep yang tidak inklusif di bawah.
Ø  Hubungkan konsep-konsep ini dengan kata-kata penghubung sehingga menjadi sebuah peta konsep.
3.                  Implikasi Konstruktivisme
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.
3.1              Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari otak seorang guru dengan begitu saja ke dalam otak siswa.
Bagi kaum konstruktivis menurut Bettencourt (1989) dalam Paul Suparno(2001:65) mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke murid, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi dengan pelajar dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi. Jadi mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri.
Pengajar sebagai mediator dan fasilitator, menurut prinsip konstruktivis, seorang pengajar atau guru berperan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar murid berjalan dengan baik. Tekanan ada pada siswa yang belajar dan bukan pada disiplin ataupun guru yang mengajar.
Fungsi mediator dan fasilitator adalah menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan murid bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses dan penelitian. Oleh karena itu jelas memberi kuliah atau ceramah bukanlah tugas utama seorang guru. Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keigintahuan murid dan membantu mereka mengekspresikan gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka. Menyediakan sarana yang merangsang siswa berpikir secara produktif. Menyediakan kesempatan dan pengalaman yang paling mendukung proses belajar siswa. Guru harus menyemangati siswa. Guru perlu menyediakan pengalaman konflik. Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran murid jalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan murid itu berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan. Guru membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan murid (Paul Suparno, 2001:66).

3.2              Langkah – langkah pembelajaran yang menggunakan Konstrutivisme sebagai acuan belajar.
Pada bagian ini akan dibahas proses belajar dari pandangan kontruktifistik dan dari aspek-aspek siswa, peranan guru, sarana belajar, dan evaluasi belajar.
1.        Proses belajar kontruktivistik secara konseptual proses belajar jika dipandang dari pendekatan kognitif, bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar kedalam diri siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada pemuktahiran struktur kognitifnya. Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi rosesnya dari pada segi perolehan pengetahuan dari pada fakta-fakta yang terlepas-lepas.
2.        Peranan siswa. Menurut pandangan ini belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep, dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru memang dapat dan harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi peluang optimal bagi terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan adalah terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa itu sendiri.
3.        Peranan guru. Dalam pendekatan ini guru atau pendidik berperan membantu agar proses pengkontruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak mentransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sebdiri.
4.        Sarana belajar. Pendekatan ini menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktifitas siswa dalam mengkontruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan tersebut.
5.        Evaluasi. Pandangan ini mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas, kontruksi pengetahuan, serta aktifitas-aktifitas lain yang didasarkan pada pengalaman.

3.3              Model – model pembelajaran yang mengacu pada konstruktivisme.
Harlen (1992 : 51) mengembangkan model konstruktivis dalam pembelajaran di kelas. Pengembangan model konstruktivis tersebut mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
1. Orientasi dan Elicitasi Ide. Merupakan proses untuk memotivasi siswa dalam mengawali proses pembelajaran. Melalui elicitasi siswa mengungkapkan idenya dengan berbagai cara.
2. Restrukturisasi ide. Meliputi beberapa tahap yaitu klarifikasi terhadap ide, merombak ide dengan melakukan konflik terhadap situasi yang berlawanan, dan mengkonstruksi dan mengevaluasi ide yang baru.
3.  Aplikasi. Menerapkan ide yang telah dipelajari.
4.  Review. Mengadakan tinjauan terhadap perubahan ide tersebut.
Tahapan - tahapan dalam pengembangan model belajar konstruktivis dengan lebih rinci diimplementasikan oleh Sadia (1996 : 87). Secara signifikan model yang telah dikembangkan ini mampu meningkatkan prestasi belajar fisika siswa. Tahapan-tahapan pengembangan model konstruktivis tersebut mengikuti langkah-langkah sebagai berikut.
1)      Identifikasi tujuan. Tujuan dalam pembelajaran akan memberi arah dalam merancang program, implementasi program dan evaluasi.
2)      Menetapkan Isi Produk Belajar. Pada tahap ini, ditetapkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip fisika yang mana yang harus dikuasai siswa.
3)      Identifikasi dan Klarifikasi Pengetahuan Awal Siswa. Identifikasi pengetahuan awal   siswa dilakukan melalui tes awal, interview klinis dan peta konsep.
4)      Identifikasi dan Klarifikasi Miskonsepsi Siswa. Pengetahuan awal siswa yang telah diidentifikasi dan diklarifikasi perlu dianalisa lebih lanjut untuk menetapkan mana diantaranya yang telah sesuai dengan konsepsi ilmiah, mana yang salah dan mana yang miskonsepsi.
5)      Perencanaan Program Pembelajaran dan Strategi Pengubahan Konsep. Program pembelajaran dijabarkan dalam bentuk satuan pelajaran. Sedangkan strategi pengubahan konsepsi siswa diwujudkan dalam bentuk modul.
6)      Implementasi Program Pembelajaran dan Strategi Pengubahan Konsepsi. Tahapan ini merupakan kegiatan aktual dalam ruang kelas. Tahapan ini terdiri dari tiga langkah yaitu : (a) orientasi dan penyajian pengalaman belajar, (b)menggali ide-ide siswa, (c) restrukturisasi ide-ide.
7)      Evaluasi. Setelah berakhirnya kegiatan implementasi program pembelajaran, maka dilakukan evaluasi terhadap efektivitas model belajar yang telah diterapkan.
8)      Klarifikasi dan analisis miskonsepsi siswa yang resisten. Berdasarkan hasil evaluasi perubahan miskonsepsi maka dilakukaan klarifikasi dan analisis terhadap miskonsepsi siswa, baik yang dapat diubah secara tuntas maupun yang resisten.
9)      Revisi strategi pengubahan miskonsepsi. Hasil analisis miskonsepsi yang resisten digunakan sebagai pertimbangan dalam merevisi strategi pengubahan konsepsi siswa dalam bentuk modul.
















BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Menurut kamus ilmiah populer (2006:179) hirarki berarti berurutan-urutan, peringkat, tingkat. Hirarki belajar merupakan struktur belajar yang terdiri dari tingkatan-tingkatan belajar.
Gagne menekankan kajiannya pada aspek penataan urutan dengan memunculkan gagasan mengenai prasyarat belajar yang dituangkan dalam suatu struktur isi yang disebutnya hirarki belajar. Keterkaitan diantara bagian- bagian yang dituangkan dalam bentuk prasyarat belajar berarti bahwa pengetahuan tertentu harus dikuasai lebih dulu sebelum pengetahuan lainnya dapat dipelajari.
 pembelajaran bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang.
Filsafat konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia melalui interaksi dengan objek, fenomena pengalaman dan lingkungan mereka. Konstruktivisme bertitik tolak dari pembentukan pengetahuan, dan rekonstruksi pengetahuan adalah mengubah pengetahuan yang dimiliki seseorang yang telah dibangun atau dikonstruk sebelumnya dan perubahan itu sebagai akibat dari interaksi dengan lingkungannya.
B. Saran
Agar proses belajar siswa menjadi efisien dan efektif seorang pendidik perlu memperhatikan tingkatan belajar yang terjadi pada siswa, sehingga siswa dengan mudah menyerap informasi karena telah memiliki pengetahuan sebelumnya.Dalam dunia pendidikan proses lebih diutamakan dari pada hasil walaupun nantinya kita akan menuju puncak dari suatu hasil.


DAFI’AR PUSTAKA
Bigge, Morris L. 1982. Learning Theories For Teachers. New York: Harper & Row Publishers.
Budiningsih, C. Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Dahar, Ratna Willis. 1988. Teori-Teori Belaar. Jakarta: P2LPTK
 I Nyoman Sudana. 1989. Ilmu Pengajaran Taksonomi Variabel. Jakarta: P2LPTK
Driscoll, Marcy P. Psychology of Learning for Intruction . Florida State University
Gagne, Robert M dan Driscoll, Marcy P. 1989. Essentials of Learning for
instruction. New Jersey: Prentice Hall
Snelbecker . Glen E.Learning Theory, Instruksional Theory and Psychoeducational  Design. New York : Mc graw-Book Company
Tim Prima Pena. 2006. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya : Gita Media Press
www.google.co.id