BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Pencapaian
tujuan pendidikan di setiap lembaga pendidikan, sangat ditentukan oleh
pengelolaan proses belajar. Oleh karena itu kegiatan belajar mengajar perlu
dikelola sebaik mungkin supaya tercapai tujuan pendidikan. Proses pembelajaran
matematika di sekolah dipengaruhi banyak fakto antara lain: siswa, metode,
guru, sarana dan prasarana serta penilaian. Guru dinilai paling
bertanggung jawab dalam kegiatan proses belajar mengajar. Dalam
pelaksanaan belajar mengajar guru bertugas memotivasi, membimbing dan member
fasilitas belajar kepada siswanya dalam pencapayan tujuan pengajaran yang
direncanakan. Untuk mencapai tujuan tersebut tentunya guru mempunyai strategi
tertentu agar pelaksanaan belajar dengan baik dan dapat mencapai tujuan yang
diharapkan. Bahkan banyak teori dari para ahli yang diterapkan guru dalam
proses pembelajaran.
Tantangan dunia pendidikan di masa
yang akan datang adalah mewujudkan proses demokratisasi belajar. Suatu proses
pendemokrasian yang mencerminkan bahwa belajar adalah atas prakarsa anak. Salah
satu prasyarat terwujudnya masyarakat belajar yang demokratis adalah adanya
pengemasan pembelajaran yang beragam.
Dewasa
ini telah banyak usaha yang dilakukan untuk memudahkan proses internal yang
berlangsung ketika seseorang belajar. Semuanya ditujukan agar proses belajar
menjadi lebih efektif dan efisien.
Para pendidik dan para perancang pendidikan serta
pengembang program- program pembelajaran perlu menyadari akan pentingnya
pemahaman terhadap hakekat belajar pembelajaran. Berbagai teori belajar dan
pembelajaran penting untuk dimengerti dan diterapkan sesuai dengan kondisi dan
konteks pembelajaran yang dihadapi.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Hirarki Belajar
Teori Gagne
Menurut kamus ilmiah populer
(2006:179) hirarki berarti berurutan-urutan, peringkat, tingkat. Hirarki
belajar merupakan struktur belajar yang terdiri dari tingkatan-tingkatan
belajar.
Gagne
memberikan pemecahan dan pengurutan materi pembelajaran dengan selalu
menanyakan pertanyaan ini: “Pengetahuan apa yang lebih dahulu harus dikuasai
siswa agar ia berhasil mempelajari suatu pengetahuan tertentu?”. Setelah
mendapat jawabannya, ia harus bertanya lagi seperti pertanyaan yang di atas
tadi untuk mendapatkan prasyarat yang harus dikuasai dan dipelajari siswa
sebelum ia mempelajari pengetahuan tersebut. Begitu seterusnya sampai
didapatkan urut-urutan pengetahuan dan yang paling sederhana sampai yang paling
kompleks.
Dengan
cara seperti itu akan didapatkan hirarki belajar. Resnick dan Ford (google,co.id)
mengungkapkan, “A hierarchy is generated by considering the target task and
asking: “What would (this child) have to know and how to do in order to perform
thisk task...?” . Gagne menekankan kajiannya pada aspek penataan urutan dengan
memunculkan gagasan mengenai prasyarat belajar yang dituangkan dalam suatu
struktur yang disebutnya hirarki belajar. Keterkaitan diantara bagian-bagian
yang dituangkan dalam bentuk prasyarat belajar berarti bahwa pengetahuan
tertentu harus dikuasai lebih dulu sebelum pengetahuan lainnya dapat
dipelajari.
Hirarki belajar menurut Gagne harus
disusun dari atas ke bawah atau top down. Dimulai dengan menempatkan kemampuan,
pengetahuan, ataupun keterampilan yang menjadi salah satu tujuan dalam proses
pembelajaran di puncak dari hirarki belajar diikuti kemampuan, ketrampilan,
atau pengetahuan prasyarat yang harus dikuasai lebih dahulu agar berhasil
mempelajani ketrampilan atau pengetahuan yang ada di atasnya.
Hirarki belajar dari Gagne
memungkinkan juga prasyarat yang berbeda untuk kemampuan yang beda pula . Sebagai
contoh, pemecahan masalah membutuhkan aturan, prinsip dan konsep- konsep
terdefinisi sebagai prasyaratnya yang membtuhkan konsep konkret sebagai
prasyarat berikutnya yang masih membutuhkan kemampuan membedakan (discriminations)
sebagai prasyarat berikutnya lagi.
1.1
Contoh kesulitan belajar matematika yang
berkaitan dengan hirarki belajar.
Pada suatu hari, seorang teman guru matematika yang sudah mengajar beberapa
tahun di SMP mengeluh tentang sebagian besar siswa yang tetap tidak bisa
atau belum mampuh untuk memfaktorkan bentuk-bentuk aljabar seperti: x2-2x-35
menjadi (x-7)(x+5): x2-6x +8 menjadi (x-4)(x-2). Padahal, menurut
guru tersebut, ia sudah berulang-ulang menjelaskan dengan berbagai cara; namun
tetap saja siswanya tidak dapat memfaktorkan beberapa soal baru yang
angkanya berbeda dari yang dicontohkannya. Yang menjadi pertanyaan mengapa hal
seperti itu dapat terjadi? Jika hal ini terjadi kita dapat beranjak dari
pertanyaan awal yang dapat diajukan sebagaiman disarankan Gagne adalah:
pengetahuan yang lebih dahulu harus dikuasai siswa agar ia berhasil
memfaktorkan? Jawabannya: di saat memfaktorkan bentuk seperti x2-2x-35dimana
-2 disebut koeffisien x dan -35 disebut konstanta, sebagaiman para siswa harus
mencari dua bilangan yang dicari tersebut adalah -7 dan +5, karena -7 +
(+5) = -2 dan (-7) × (5) =-35. Ketika ditanyakan kepada guru tersebut tentang
kemampuan siswanya untuk menjumlahkan dan mengalikan dua bilangan bulat, sang
guru menyatakan bahwa para siswanya sering mengalami kesulitan dengan dua tugas
tersebut. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah kalau mereka tidak dapat
menentukan dua bilangan bulat yang jumlah dan hasil kalinya sudah tertentu,
bagaimana mungkin mereka akan mampu memfaktorkan bentuk-bentuk aljabar?.
Sehingga dapat disimpulkan para siswa tersebut harus di bimbing kembali dalam
belajar penjumlahan dan perkalin hingga lancar.
1.2
Contoh hirarki belajar dari satu topik matematika.
Dari cerita di atas, dapatlah disusun suatu hirarki tentang memfaktorkan
bentuk aljabar seperti di tunjukan pada gambar 1 di bawah ini. Bapak dan ibu
guru dapat saja menyempurnakan hirarki belajar ini berdasar pengalman
dilapangan. Dari gambar 1 terlihat jelas bahwa pengetahuan atau keterampilan
memfaktorkan yang telah ditetapkan menjadi salah satu tujuan pembelajaran
khusus harus diletakkan dipuncak dari hirarki belajar tersebut, diikuti
dibawahnya, ketrampilan atau pengetahuan prasyarat (prerquisite) yang harus
dikuasi lebih dahulu agar para siswa berhasil mempelajari ketrampilan
atau pengetahuan di atasnya itu. Begitu seterusnya sehingga didapatkan hirarki
belajar tersebut.
Hal paling penting yang perlu
mendapat perhatian serius para guru matematika adalah bersifat
hirarkisnya mata pelajaran matematika. Tidaklah
mungkin seorang siswa mempelajari
suatu materi tertentu jika mereka tidak memiliki pengetahuan prasyarat
yang cukup. Hal tersebut berlaku dari jenjang Sekolah Dasar sampai dengan
tingkat perguruan tinggi. Seorang siswa SD yang bari belajar menjumlahkan
dua bilangan antara 1 sampai 5 harus memiliki pengetahuan prasyarat awal
seperti dapat menulis dan membilang angka 1 sampai 5 secara berurutan. Di
samping itu, ia harus menentukan banyaknya suatu kelompok benda dengan tepat.
Gambar 1
Contoh
Hirarki Belajar
![]() |
|||
![]() |



![]() |

![]() |
|||
![]() |
|||
Menurut
seorang guru SD, sering terjadi seorang anak, ketika membilang dengan benda
kongkret, ia mengucapkan “empat” padahal jarinya menunjukan benda
kelima. Di tingkat perguruan tinggi, seorang mahasiswa tidak akan mungkin
mempelajari integral rangkap tiga jiga ia tidak memiliki bekal yang cukup
tentang integral biasa. Tentunya hal yang sama akan terjadi di bangku
SMP. Disamping itu, matematika sudah dikenal sebagai mata pelajaran yang sulit.
Pendapat seperti ini harus dikikis sedikit demi sedikit oleh setiap guru
matematika. Karenanya, perlu bagi penulis untuk mengingatkan para guru
matematika bahwa disat menemui para siswa yang mengalami kesulitan atau
melakukan kesalahan, cobalah untuk berpikir jerni dalam menetapkan penyebab
kesulitan maupun kesalahan siswa tersebut dan dapat menggunakan teori tentang
hirarki belajar ini sebagai salah satu alat pentingnya. Sekali lagi, seorang
siswa tidak akan dapat mempelajari atau menyelesaikan tugas tertentu jika
mereka tidak memiliki pengetahuan prasyaratnya. Karena itu, untuk memudahkan
para siswa selama proses pembelajaran di kelas, proses tersebut harus dimulai
dengan member kemudahan bagi para siswa dengan mengecek, mengingatkan kembali,
dan memperbaiki pengetahuan-pengetahuan prasyaratnya. Sebagai penutup, penulis
ingin menyatakan bahwa tugas guru matematika memanglah berat, namun sangat
mulia dan akan sangat menentukan kemajuan bangsa ini di masa yang akan
datang.
1 .3
Gagne dikenal sebagai pencetus istilah fakta, skill, konsep, dan
prinsip.
Gagne menggunakan matematika sebagai sarana untuk
menyajikan dan mengaplikasi teori-teorinya tentang belajar. Menurut Gagne
(dalam Ismail, 1998), objek belajar matematika terdiri dari objek langsung dan
objek tak langsung. Objek langsung adalah transfer belajar, kemampuan
menyelidiki, kemampuan memecahkan masalah, disiplin pribadi dan apresiasi pada
struktur matematika. Sedangkan objek langsung belajar matematika adalah fakta,
keterampilan, konsep dan prinsip.
1. Fakta (fact) adalah
perjanjian-perjanjian dalam matematika seperti simbol-simbol matematika, kaitan
simbol “3” dengan kata “tiga” merupakan contoh fakta.
Contoh lainnya fakta : “+” adalah simbol
dari operasi penjumlahan dan sinus adalah nama suatu fungsi khusus dalam
trigonometri.
2. Keterampilan (skills) adalah
kemampuan memberikan jawaban yang benar dan cepat. Misalnya pembagian cara
singkat, penjumlahan pecahan dan perkalian pecahan.
3. Konsep (concept) adalah ide
abstrak yang memungkinkan kita mengelompokkan objek ke dalam contoh dan bukan
contoh. Himpunan, segitiga, kubus, dan jari-jari adalah merupakan konsep dalam
matematika.
4. Prinsip (principle) merupakan
objek yang paling kompleks. Prinsip adalah sederetan konsep beserta dengan
hubungan diantara konsep-konsep tersebut.
Contoh prinsip adalah dua segitiga sama
dan sebangun bila dua sisi yang seletak dan sudut apitnya kongruen.
2.
Belajar
Bermakna Dari David P.Ausubel
David Ausubel adalah seorang ahli
psikologi pendidikan yang terkenal dengan teori belajar bermakna (meaningfull).
Ausubel (Tim MKPBM, 2001 : 35) membedakan antara belajar menemukan dengan
belajar menerima. Pada belajar menerima siswa hanya menerima, jadi tinggal
menghafalkannya, tetapi pada belajar menemukan konsep ditemukan oleh siswa,
jadi tidak menerima pelajaran begitu saja.
Menurut Ausubel (Dahar, 1996 : 112) pembelajaran bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang.
Menurut Ausubel (Dahar, 1996 : 112) pembelajaran bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang.
2.1
Belajar Menghafal (Rote Learning)
Bila struktur kognitif yang
cocok dengan fenomena baru itu belum ada maka informasi baru tersebut harus
dipelajari secara menghafal. Belajar menghafal ini perlu bila seseoarang
memperoleh informasi baru dalam dunia pengetahuan yang sama sekali tidak
berhubungan dengan apa yang ia ketahiu sebelumnya.
Jika seorang anak berkeinginan untuk mengingat sesuatu
tanpa mengaitkan hal yang satu dengan hal yang lain maka baik proses maupun
hasil pembelajarannya dapat dinyatakan sebagai hafalan dan tidak akan bermakna
sama sekali baginya.
Contoh lain yang dapat dikemukakan tentang belajar
hafalan ini adalah beberapa siswa SD kelas 1 atau 2 yang dapat mengucapkan:
“Ini Budi. Ini Ibu Budi,” namun ia tidak dapat menentukan sama sekali mana yang
“i” dan mana yang “di”. Contoh lain dari belajar menghafal adalah siswa yang
dapat mengingat dan menyatakan rumus luas persegipanjang adalah l = p × l,
namun ia tidak bisa menentukan luas suatu persegi panjang karena ia tidak tahu
arti lambang l, p, dan l.
Setelah itu, si anak harus mampu
mengaitkan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang sudah
dipunyainya, sehingga proses pembelajarannya menjadi bermakna..
” Jelaslah bahwa pengetahuan yang sudah
dimiliki siswa akan sangat menentukan berhasil tidaknya suatu proses
pembelajaran. Untuk menjelaskan tentang belajar bermakna ini, perhatikan tiga
bilangan berikut.
Menurut Anda, dari tiga bilangan berikut:
a.
50, 471, 198
b.
54, 918, 071
c.
17, 081, 945
manakah yang lebih mudah dipelajari atau diingat para
siswa? Seorang siswa dapat saja mengingat ketiga bilangan tersebut yaitu dengan
mengucapkan bilangan tersebut berulang-ulang beberapa kali. Namun sebagai warga
bangsa Indonesia tentunya Bapak dan Ibu Guru akan meyakini bahwa bilangan (c)
yaitu 17.081.945 merupakan bilangan yang paling mudah dipelajari jika bilangan
tersebut dikaitkan dengan tanggal 17 – 08 – 1945 yang merupakan hari
kemerdekaan Republik Indonesia.
Proses pembelajaran bilangan 17.081.945 (tujuh belas
juta delapan puluh satu ribu sembilan ratus empat puluh lima) akan bermakna
bagi siswa hanya jika si siswa, dengan bantuan gurunya, dapat mengaitkannya
dengan tanggal keramat 17 Agustus 1945 yang sudah ada di dalam kerangka
kognitifnya.
Bilangan (b) yaitu 54.918.071 akan lebih mudah
dipelajari siswa daripada bilangan (a) yaitu 50.471.198 karena bilangan (b)
didapat dari tanggal 17–08–1945 dalam urutan terbalik yaitu 5491–80–71.
Bilangan (a) merupakan bilangan yang paling
sulit untuk dipelajari karena aturan atau polanya belum diketahui. Contoh di
atas menunjukkan bahwa suatu proses pembelajaran akan lebih mudah dipelajari
dan dipahami siswa jika para guru mampu dalam memberi kemudahan bagi siswanya
sedemikian sehingga para siswa dapat mengaitkan pengetahuan yang baru dengan
pengetahuan yang sudah dimilikinya. Itulah inti dari belajar bermakna
(meaningful learning) yang telah digagas David P Ausubel.
2.2 Belajar Bermakna (Meaningfull Learning)
Belajar dikatakan bermakna bila
informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan struktur
kognitif yang dimiliki peserta didik itu sehingga peserta didik itu dapat
mengaitkan informasi barunya dengan struktur kognifitif yang dimilikinya.
Sehingga peserta didik menjadi kuat ingatannya dan transfe belajarnya mudah
dicapai. Struktur kognitif dapat berupa fakta-fakta, konsep-konsep maupun
generalisasi yang telah diperoleh atau bahkan dipahami sebelumnya oleh siswa.
Contoh belajar bermakna di saat membahas himpunan
kosong misalnya, seorang guru dapat saja melalui proses pembelajaran dengan mendiskusikan
“ Gelas kosong “ atau “ buku kosong “. Karena “ buku kosong “sudah diketahui
para siswamerupakan buku yang tidak ada tulisasnya, gelas kosong adalah gelas
yang tidak ada isinya (airnya), ddan kantong kosong berarti kantong yang tidak
ada isinya (uangya) maka para siswa diharapkan akan lebih mudah untuk memahami
bahwa “ Himpunan kosong “ adalah himpunan yang tidak memiliki / mempunyai.
2.3
Pembelajaran Matematika SMP yang akan menjadi
pembelajaran yang
bermakna bagi para siswa.
Ø Pilih suatu
bacaan dari buku pelajaran.
Ø Tentukan konsep-konsep
yang relevan.
Ø Urutkan
konsep-konsep dari yang paling inklusif ke yang paling tidak inklusif atau
contoh-contoh.
Ø Susun
konsep-konsep tersebut di atas kertas mulai dari konsep yang paling inklusif di
puncak konsep ke konsep yang tidak inklusif di bawah.
Ø Hubungkan
konsep-konsep ini dengan kata-kata penghubung sehingga menjadi sebuah peta
konsep.
3.
Implikasi
Konstruktivisme
Teori Konstruktivisme didefinisikan
sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu
makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan
gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan
himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang
mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.
3.1
Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari otak seorang
guru dengan begitu saja ke dalam otak siswa.
Bagi kaum konstruktivis menurut
Bettencourt (1989) dalam Paul Suparno(2001:65) mengajar bukanlah kegiatan memindahkan
pengetahuan dari guru ke murid, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan
siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi dengan
pelajar dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap
kritis, dan mengadakan justifikasi. Jadi mengajar adalah suatu bentuk belajar
sendiri.
Pengajar sebagai mediator dan
fasilitator, menurut prinsip konstruktivis, seorang pengajar atau guru berperan
sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar murid
berjalan dengan baik. Tekanan ada pada siswa yang belajar dan bukan pada
disiplin ataupun guru yang mengajar.
Fungsi mediator dan fasilitator
adalah menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan murid bertanggung jawab
dalam membuat rancangan, proses dan penelitian. Oleh karena itu jelas memberi
kuliah atau ceramah bukanlah tugas utama seorang guru. Menyediakan atau
memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keigintahuan murid dan membantu
mereka mengekspresikan gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka.
Menyediakan sarana yang merangsang siswa berpikir secara produktif. Menyediakan
kesempatan dan pengalaman yang paling mendukung proses belajar siswa. Guru
harus menyemangati siswa. Guru perlu menyediakan pengalaman konflik. Memonitor,
mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran murid jalan atau tidak. Guru
menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan murid itu berlaku untuk
menghadapi persoalan baru yang berkaitan. Guru membantu mengevaluasi hipotesis
dan kesimpulan murid (Paul Suparno, 2001:66).
3.2
Langkah – langkah pembelajaran yang menggunakan
Konstrutivisme sebagai acuan belajar.
Pada bagian ini akan dibahas proses belajar dari pandangan kontruktifistik
dan dari aspek-aspek siswa, peranan guru, sarana belajar, dan evaluasi belajar.
1.
Proses belajar kontruktivistik secara konseptual
proses belajar jika dipandang dari pendekatan kognitif, bukan sebagai perolehan
informasi yang berlangsung satu arah dari luar kedalam diri siswa kepada
pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada
pemuktahiran struktur kognitifnya. Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi
rosesnya dari pada segi perolehan pengetahuan dari pada fakta-fakta yang
terlepas-lepas.
2.
Peranan siswa. Menurut pandangan ini belajar merupakan
suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si
belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep,
dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru memang dapat dan
harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi peluang optimal
bagi terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan adalah
terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa itu sendiri.
3.
Peranan guru. Dalam pendekatan ini guru atau pendidik
berperan membantu agar proses pengkontruksian pengetahuan oleh siswa berjalan
lancar. Guru tidak mentransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan
membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sebdiri.
4.
Sarana belajar. Pendekatan ini menekankan bahwa
peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktifitas siswa dalam mengkontruksi
pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan,
lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan
tersebut.
5.
Evaluasi. Pandangan ini mengemukakan bahwa lingkungan
belajar sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap
realitas, kontruksi pengetahuan, serta aktifitas-aktifitas lain yang didasarkan
pada pengalaman.
3.3
Model – model pembelajaran yang mengacu pada
konstruktivisme.
Harlen (1992
: 51) mengembangkan model konstruktivis dalam pembelajaran di kelas.
Pengembangan model konstruktivis tersebut mengikuti langkah-langkah sebagai
berikut:
1. Orientasi
dan Elicitasi Ide. Merupakan proses untuk memotivasi siswa dalam mengawali proses
pembelajaran. Melalui elicitasi siswa mengungkapkan idenya dengan berbagai
cara.
2. Restrukturisasi
ide. Meliputi beberapa tahap yaitu klarifikasi terhadap ide, merombak ide
dengan melakukan konflik terhadap situasi yang berlawanan, dan mengkonstruksi dan
mengevaluasi ide yang baru.
3. Aplikasi. Menerapkan ide yang telah
dipelajari.
4.
Review. Mengadakan tinjauan terhadap perubahan ide tersebut.
Tahapan - tahapan dalam pengembangan model belajar
konstruktivis dengan lebih rinci diimplementasikan oleh Sadia (1996 : 87).
Secara signifikan model yang telah dikembangkan ini mampu meningkatkan prestasi
belajar fisika siswa. Tahapan-tahapan pengembangan model konstruktivis tersebut
mengikuti langkah-langkah sebagai berikut.
1) Identifikasi
tujuan. Tujuan dalam pembelajaran akan memberi arah dalam merancang program, implementasi
program dan evaluasi.
2) Menetapkan
Isi Produk Belajar. Pada tahap ini, ditetapkan konsep-konsep dan
prinsip-prinsip fisika yang mana yang harus dikuasai siswa.
3) Identifikasi
dan Klarifikasi Pengetahuan Awal Siswa. Identifikasi pengetahuan awal siswa dilakukan melalui tes awal, interview
klinis dan peta konsep.
4) Identifikasi
dan Klarifikasi Miskonsepsi Siswa. Pengetahuan awal siswa yang telah
diidentifikasi dan diklarifikasi perlu dianalisa lebih lanjut untuk menetapkan
mana diantaranya yang telah sesuai dengan konsepsi ilmiah, mana yang salah dan
mana yang miskonsepsi.
5) Perencanaan
Program Pembelajaran dan Strategi Pengubahan Konsep. Program pembelajaran
dijabarkan dalam bentuk satuan pelajaran. Sedangkan strategi pengubahan
konsepsi siswa diwujudkan dalam bentuk modul.
6) Implementasi
Program Pembelajaran dan Strategi Pengubahan Konsepsi. Tahapan ini merupakan
kegiatan aktual dalam ruang kelas. Tahapan ini terdiri dari tiga langkah yaitu
: (a) orientasi dan penyajian pengalaman belajar, (b)menggali ide-ide siswa,
(c) restrukturisasi ide-ide.
7) Evaluasi.
Setelah berakhirnya kegiatan implementasi program pembelajaran, maka dilakukan
evaluasi terhadap efektivitas model belajar yang telah diterapkan.
8) Klarifikasi
dan analisis miskonsepsi siswa yang resisten. Berdasarkan hasil evaluasi
perubahan miskonsepsi maka dilakukaan klarifikasi dan analisis terhadap
miskonsepsi siswa, baik yang dapat diubah secara tuntas maupun yang resisten.
9) Revisi
strategi pengubahan miskonsepsi. Hasil analisis miskonsepsi yang resisten
digunakan sebagai pertimbangan dalam merevisi strategi pengubahan konsepsi
siswa dalam bentuk modul.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Menurut kamus ilmiah populer
(2006:179) hirarki berarti berurutan-urutan, peringkat, tingkat. Hirarki
belajar merupakan struktur belajar yang terdiri dari tingkatan-tingkatan
belajar.
Gagne
menekankan kajiannya pada aspek penataan urutan dengan memunculkan gagasan
mengenai prasyarat belajar yang dituangkan dalam suatu struktur isi yang
disebutnya hirarki belajar. Keterkaitan diantara bagian- bagian yang dituangkan
dalam bentuk prasyarat belajar berarti bahwa pengetahuan tertentu harus
dikuasai lebih dulu sebelum pengetahuan lainnya dapat dipelajari.
pembelajaran bermakna merupakan suatu proses
mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam
struktur kognitif seseorang.
Filsafat
konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia
melalui interaksi dengan objek, fenomena pengalaman dan lingkungan mereka.
Konstruktivisme bertitik tolak dari pembentukan pengetahuan, dan rekonstruksi
pengetahuan adalah mengubah pengetahuan yang dimiliki seseorang yang telah
dibangun atau dikonstruk sebelumnya dan perubahan itu sebagai akibat dari
interaksi dengan lingkungannya.
B.
Saran
Agar proses belajar siswa menjadi
efisien dan efektif seorang pendidik perlu memperhatikan tingkatan belajar yang
terjadi pada siswa, sehingga siswa dengan mudah menyerap informasi karena telah
memiliki pengetahuan sebelumnya.Dalam dunia pendidikan
proses lebih diutamakan dari pada hasil walaupun nantinya kita akan menuju
puncak dari suatu hasil.
DAFI’AR PUSTAKA
Bigge, Morris L. 1982. Learning Theories For Teachers.
New York: Harper & Row Publishers.
Budiningsih, C. Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran.
Jakarta: Rineka Cipta. Dahar, Ratna Willis. 1988. Teori-Teori Belaar. Jakarta:
P2LPTK
I Nyoman
Sudana. 1989. Ilmu Pengajaran Taksonomi Variabel. Jakarta: P2LPTK
Driscoll, Marcy P. Psychology of Learning for
Intruction . Florida State University
Gagne, Robert M dan Driscoll, Marcy P. 1989.
Essentials of Learning for
instruction. New Jersey: Prentice Hall
Snelbecker . Glen E.Learning Theory, Instruksional
Theory and Psychoeducational Design. New
York : Mc graw-Book Company
Tim Prima Pena. 2006. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya :
Gita Media Press
www.google.co.id